PENDAHULUAN
Peradaban Mesir Kuno adalah salah satu peradaban tertua di dunia,
terdapat di lembah Sungai Nil mulai dari 4000 tahun SM. Karena terletak di
lembah Sungai Nil, maka Mesir merupakan negeri yang sangat subur. Berbicara
tentang Mesir tidak bisa dilepaskan dari sungai Nil, karena sungai inilah yang
menjadi roh bagi rakyat Mesir. Sejarawan Yunani Kuno
pada abad ke-5 menyebut Mesir sebagai “Hadiah dari Sungai Nil” (The give of the
Nile). Dengan kata lain, kemakmuran mereka diperoleh berkat hadiah Sungai Nil.
Walaupun demikian, kemakmuran yang dihadiahkan Sungai Nil lebih banyak
dinikmati oleh Firaun dan golongan bangsawan, bukan oleh petani.[1]
Menurut sejarah, bangsa Semit yang
tinggal di sekeliling Mesir (Asyiria, Aram, lbrani dan Arab) menyebut negeri
ini dengan nama MITSRAYIM yang berarti
batas dan penduduknya
sebagai MITSRY. Berbeda pula dengan
orang-orang Qibti yang menyebut negeri ini pada zaman lampau dengan
istilah Kemy yang membawa arti hitam atau tanah yang hitam. Orang-orang
Yunani menyebut Mesir dengan nama aiguptus / aigyptos.
Nama Aigyptos ini disebut berulangkali dalam syair-syair pujangga agung Yunani,
Homerus.[2]
Secara geografis wilayah Mesir
berbatasan dengan negara Sudan di bagian Selatan. Bagian Barat berbatasan
dengan negara Libya, bagian Utara dengan laut Tengah dan bagian Timur dengan
laut Merah. Keunikan secara geografis, wilayah Mesir merupakan pintu penghubung
bagi 3 benua; Eropa, Afrika dan Asia. Posisi inilah yang menjadikan wilayah
Mesir menjadi incaran berbagai bangsa sejak zaman dahulu. Selain
itu, Mesir secara geografis memiliki perlindungan alam berupa gurun. Gurun
Nubia dan Gurun Sahara menjadikan Mesir terlindungi dari ancaman serangan
bangsa asing.[3]
Menurut David F. Hinson, sekitar tahun 2900 SM, untuk pertama kalinya terbentuk suatu kesatuan politik yang besar di Mesir dikenal dengan nama Kerajaan Mesir Kuno.[4] Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3500 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium. Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai oleh periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan Firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.[5]
Menurut David F. Hinson, sekitar tahun 2900 SM, untuk pertama kalinya terbentuk suatu kesatuan politik yang besar di Mesir dikenal dengan nama Kerajaan Mesir Kuno.[4] Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3500 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium. Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai oleh periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan Firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.[5]
Awalnya Mesir kuno terdiri dari dua daerah terisolasi yang dilalui
Sungai Nil yaitu Mesir Hulu atau Mesir atas yang terletak di bagian selatan dan
Mesir hilir atau Mesir bawah yang terletak di bagian utara. Bagian Hulu berada
di selatan di mana daerahnya berupa lembah sempit. Penduduknya bersikap lebih
tertutup dibandingkan dengan yang di hilir. Penduduk di Mesir Hilir berkembang
ke dalam sistem yang bersifat kekotaan,
penduduk di Hulu tetap bersifat pedesaan. Keadaan tersebut menimbulkan sikap
berlainan antara kedua daerah, persaingan dan konflik pun sering terjadi. 3000
SM masyarakat Mesir bagian Utara telah berhasil membangun kekuatan politik
untuk menguasai Mesir daerah Selatan dengan dibentuknya sebuah kerajaan. Namun,
usaha untuk menguasai Mesir bagian Selatan gagal. Dengan demikian timbul dua
kerajaan Mesir dengan mahkotanya sendiri-sendiri.
1. Periode
Pradinasti : Pada masa ini merupakan sebuah periode antara Neolitikum awal dan
permulaan monarki yang dimulai dengan Raja Narmer. Pada masa
ini suku-suku kecil mulai berkembang dan menetap di lembah Sungai Nil.
2. Periode
Dinasti Awal (Dinasti 1 & 2) : Pada masa ini, mayoritas penduduk Mesir kuno adalah petani yang tinggal di desa-desa
kecil, dan pertanian (sebagian besar gandum dan sejenis gandum sebagai bahan
dasar pembuatan bir) membentuk basis ekonomi negara Mesir.
3. Kerajaan
Lama (Dinasti 3, 4, 5, 6) : Pada masa ini, bangsa Mesir
membangun piramida sebagai makam bagi para firaun.
4. Periode
Menengah Pertama Mesir (Dinasti 7, 8, 9, 10) : Pada masa ini disebut dengan "periode
gelap" dalam sejarah Mesir kuno karena pemerintah
tidak lagi mampu mendukung dan menstabilkan ekonomi negara akibatnya Mesir
terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, hal ini berlangsung sekitar tiga ratus
tahun setelah berakhirnya Kerajaan Lama.
5. Kerajaan
Pertengahan (Dinasti 11, 12, 13, 14) : Pada masa ini, para firaun
berhasil menyatukan kembali Mesir, namun para firaun Kerajaan Pertengahan tak
sekuat para firaun Kerajaan Lama, mereka tidak lagi membangun piramida.
6. Periode
Menengah Kedua dan Hyksos (Dinasti 15, 16, 17) : Pada masa ini, para firaun
Kerajaan Pertengahan kembali kehilangan kekuasaan. Selama Periode Pertengahan
Kedua, bangsa Hyksos dari utara menginvasi Mesir dan menguasai Mesir Hilir
untuk sementara waktu. Bangsa Hyksos memiliki kuda dan kereta perang, dan
dengan cepat pasukan Mesir juga belajar cara menggunakan kuda dan kereta
perang.
7. Kerajaan
Baru (Dinasti 18,19, 20) : Pada masa ini, para firaun
Mesir dari Mesir Hulu berhasil mengusir bangsa Hyksos dan menyatukan kembali
Mesir dalam satu negara yang disebut Kerajaan Baru. Masa ini disebutkan dalam
Injil dan Al Qur'an, yaitu tentang penindasan Israel (bangsa Yahudi) oleh
bangsa Mesir.
8.
Periode Menengah Ketiga
(Dinasti 21, 22, 23, 24, 25) : Pada masa ini, pemerintah terpusat di bawah dinasti firaun ke-21 memberi jalan kepada kebangkitan
pejabat lokal, sedangkan orang asing dari Libya dan Nubia merebut kekuasaan
untuk diri mereka sendiri dan meninggalkan jejak yang abadi pada penduduk
Mesir. Dinasti ke-22 dimulai sekitar 945 SM dengan Raja
Sheshonq, seorang keturunan Libya yang telah menginvasi Mesir selama dinasti
20-an dan menetap di sana. Banyak penguasa lokal
hampir menjadi otonom selama periode ini dan dinasti ke-23 dan ke-24 tidak
terdokumentasikan secara baik. Pada abad kedelapan SM, Nubia Fir'aun dimulai
dengan Shabako, penguasa kerajaan Nubia dari Kush, mendirikan dinasti mereka
sendiri dinasti ke- 25 di Thebes. Di bawah kekuasaan Kushite, Mesir
bentrok dengan kekaisaran yang sedang tumbuh yaitu Asiria. Pada tahun 671 SM, penguasa Asyur Esarhaddon mengusir
raja Kushite Taharka keluar dari Memphis dan menghancurkan kota itu, ia
kemudian mengangkat penguasanya sendiri yang loyal sebagai gubernur dan pejabat
setempat. Salah satunya, Necho dari Sais, memerintah secara singkat sebagai
raja pertama dari dinasti ke-26 sebelum dibunuh oleh pemimpin Tanuatamun
Kushite, di masa akhir pemerintahannya. Mencerminkan ketidakberhasilan
pengambil alihan kekuasaan.
9.
Periode Akhir (Dinasti
26, 27, 28, 29, 30) : Pada masa ini, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan
Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Sais Psamtik I berhasil
mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani yang direkrut
untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh Yunani
meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi
tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.
Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan
singkat ekonomi dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia
yang dipimpin oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir.
Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam
pertempuran di Pelusium. Cambyses
II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan
menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi.
Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun
yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.
A. Sistem Pemerintahan
Sistem
pemerintahan peradaban Mesir Kuno adalah “kerajaan”. Kekuasaan tertinggi berada
di tangan raja. Raja dianggap sebagai turunan dewa matahari yang bernama Re.
Dewa Re dianggap sebagai raja pertama Mesir.[7]
Raja-raja
Mesir Kuno memiliki gelar Pharao atau Fir’aun. Kata Fir’aun sendiri
berarti rumah besar.[8] Setiap desa
dikepalai oleh seorang kepala desa, tugasnya menarik pajak dari petani dan
menyerahkannya kepada raja. Raja Fir’aun mempunyai kekuasaan mutlak. Secara
umum perkembangan sistem pemerintahan kerajaan Mesir Kuno terbagi menjadi 3
masa, yaitu:[9]
1. Zaman
Kerajaan Mesir Tua
Kerajaan Mesir tua berlangsung sejak
masa pemerintahan Fir’aun Menes sampai dengan pemerintahan Pepi II (3100-2134
SM). Raja-raja yang memerintah pada masa ini menganggap diri mereka dewa dan
memerintah dengan kekuasaan absolut.[10] Masa
kerajaan Mesir Tua dikenal sebagai Abad Piramida karena pada masa itu banyak
dibangun piramida raksasa. Bangsa Mesir membangun piramida sebagai makam bagi
para Fir’aun. Ibukota kerajaan Mesir Tua adalah Memphis.
Mesir terbagi menjadi 42 distrik
administrasi yang disebut dengan nomes. Setiap nomes dipimpin oleh seorang
nomarch (orang yang bertanggungjawab terhadap wasir atau perdana menteri).
Semasa Fir’aun Pepi II berkuasa, pemerintah pusat menjadi lemah karena
persaingan di antara nomarch. Setelah Pepi II meninggal, Mesir terpecah belah
dan menandai berakhirnya masa Kerajaan Mesir Tua.[11] Raja-raja penting
yang memerintah pada zaman ini, antara lain:
a. Fir’aun Menes
Merupakan raja
terbesar pada masa ini. Ia berasal dari Thinis, sebuah kota di Mesir Selatan.[12] Prestasi
yang dicapai oleh raja ini adalah berhasil menyatukan kerajaan Mesir Hulu
dengan Mesir Hilir. Oleh karena itu ia mendapat gelar “Nesutbit” raja Mesir
yang bermahkota kembar.
b. Fir’aun Djoser (2635 – 2610 SM)
Merupakan raja Mesir yang sangat
terkenal pada dinasti ketiga Mesir. Prestasi yang berhasil diukir selama
pemerintahan Kerajaan Kuno di antaranya adalah sebagai berikut:[13]
-
Pembangunan piramid-piramid besar.
-
Dibangunnya Spinx yaitu bangunan
yang berbadan singa tetapi berkepala raja. Pada umumnya Spinx diletakkan di
depan piramid.
c. Fir’aun Pepi II (2278 - 2184 SM)
Merupakan Firaun Dinasti
keenam. Penguasa terbaik terakhir dari Kerajaan Tua. Ia menjadi raja pada umur
enam tahun, sewaktu kematian ayahnya, dan dipercayai menduduki takhta selama 94
tahun (± 2278 SM – ± 2184 SM), prestasinya adalah memiliki masa pemerintahan
terpanjang pada monarki manapun sepanjang sejarah, walaupun perhitungan ini
masih menjadi perdebatan di kalangan egyptologis.
2. Zaman
Kerajaan Mesir Pertengahan
Masa
Kerajaan Mesir Pertengahan (2040-1640 SM) diawali oleh keberhasilan Fir’aun
Mentuhotep II dari Thebe menaklukan Raja Herakleopolis. Mesir dipersatukan
kembali dengan ibu kotanya Thebe. Pada masa ini, Fir’aun tidak lagi dianggap
sebagai dewa, tapi sebagai perwakilan dewa di bumi. Pada masa pemerintahan Raja
Amenemhet I (Firaun dinasti 12), ia berhasil menggulingkan Mentuhotep IV dan
ibukota Mesir dipindahkan ke Itjawy, dekat Memphis. Dari Itjawy, firaun dinasti
ke-12 melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen.
Selain itu, tentara kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan
emas di Nubia, sementara pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta
Timur, yang disebut "tembok-tembok penguasa", sebagai perlindungan dari
serangan asing.[14]
Sejak pemerintahan Ratu
Sobek-Nefuru, pemerintahan pusat semakin lemah. Mesir kembali terpecah-belah.
Akhir kerajaan Mesir Pertengahan ditandai oleh serangan bangsa Hyksos dari
Timur Tengah. Kemudian Mesir diperintah oleh bangsa dari rumpun Semit dan
ibukotanya dipindahkan ke Awaris.[15]
a.
Fir’aun
Mentuhotep II (2046
– 1995 SM)
Raja Mesir dari dinasti
ke-11, putra Intef III dari Mesir dan ratu
kecil yang dijuluki Iah. Istrinya merupakan Tem 'ibu sang raja'. Istri lainnya
adalah Neferu (saudaranya) dan lima wanita yang dimakamkan di kompleks
pemakamannya. Satu-satunya putranya yang diketahui adalah Mentuhotep III. Raja mengganti namanya beberapa kali selama
berkuasa, yang mungkin mencerminkan peristiwa-peristiwa politik yang penting.
Nama singgasananya adalah Nebhepetre, dan dia merupakan penguasa pertama Kerajaan
Pertengahan Mesir. Daftar Raja Turin mengkreditkan dia dengan kekuasaan selama 51 tahun. Prestasinya adalah
dapat menaklukkan raja Herakleopolis dan menyatukan kembali Mesir Kuno dengan
ibukotanya Thebe. Mentuhotep II membangun kuil-kuil dan kapel di beberapa
tempat di Mesir Hulu. Ia juga menyatakan dirinya sebagai
setengah dewa, setengah abadi. Tradisi ini berlanjut dibawah penerusnya.
b.
Fir’aun
Amenemhet I (1991
– 1962 SM)
Adalah penguasa pertama
dinasti kedua belas Mesir (dinasti yang dianggap sebagai awal periode Kerajaan
Pertengahan Mesir). Prestasinya adalah dapat memindahkan ibukota dari Thebes ke
Itjawy. Selain itu dalam bidang pertanian, ia melakukan reklame tanah dan
irigasi untuk meningkatkan hasil panen.[17]
c.
Fir’aun
Amenemhat III (1860
– 1814 SM)
Ia membangun piramida
pertamanya di Dahshur ("Piramida Hitam"), tetapi ada masalah konstruksi sehingga tidak dilanjutkan. Piramida
di Dahshur digunakan untuk tempat pemakaman beberapa perempuan kerajaan.
3. Zaman
Kerajaan Mesir Baru
Kerajaan Baru Mesir, disebut
juga Kekaisaran Mesir, adalah
periode dalam sejarah Mesir kuno antara abad ke-16 dan ke-11 SM, meliputi dinasti
Mesir kedelapan belas, kesembilan belas, dan kedua puluh. Kerajaan Baru
didahului oleh Periode Pertengahan Kedua dan diteruskan oleh Periode
Pertengahan Ketiga. Pada masa Kerajaan Baru, Mesir menjadi negara yang amat
makmur dan mencapai puncak kejayaannya.[18]
Zaman kerajaan Mesir Baru (1552-1069
SM) diawali dengan pendudukan bangsa Hyksos. Raja yang berhasil mengusir orang-orang
Hyksos adalah Fir’aun Ahmosis I dari kerajaan Thebe. Beberapa raja penting pada
masa Mesir Baru yaitu:[19]
a.
Fir’aun
Ahmosis I (1550-1525 SM)
Ahmosis I (kadang-kadang
ditulis Amosis I, "Amenes" dan "Aahmes" dan berarti Lahir
dari Bulan) adalah firaun Mesir Kuno dan pendiri dinasti
kedelapan belas Mesir. Ia adalah anggota
keluarga kerajaan Thebes. Ayahnya, Seqenenre Tao II, dan saudaranya, Kamose, adalah firaun pada
masa dinasti
ketujuh belas Mesir. Pada masa kekuasaan
ayahnya, Thebes mulai memberontak melawan Hyksos yang menguasai Mesir
Hilir. Ketika Ahmosis masih berusia tujuh tahun, ayahnya tewas. Selanjutnya,
saat masih berumur sepuluh tahun, saudaranya Kamose meninggal setelah berkuasa
selama tiga tahun. Maka Ahmose I menggantikan saudaranya sebagai firaun. Pada masa kekuasaannya, ia menyelesaikan pengusiran Hyksos
dari delta sungai Nil. Ahmose I merestorasi kekuasaan Thebes atas seluruh Mesir
dan mempertegas kembali kekuatan Mesir di Nubia dan Kanaan. Ia lalu mereorganisir pemerintahan negara, membuka kembali
tambang-tambang dan jalur perdagangan, dan juga melancarkan proyek pembangunan
besar. Masa kekuasaannya menjadi pondasi bagi periode Kerajaan Baru, saat Mesir mencapai puncak kejayaannya.
b.
Fir’aun
Tuthomosis III (1500 – 1447 SM), memperluas wilayah kerajaan Mesir.
Thutmosis III (kadang
dibaca Tuthmosis III atau Thutmose III yang berarti Putra Thoth)
adalah Firaun keenam dari Dinasti
ke-18. Selama dua puluh dua tahun pertama
pemerintahan Thutmosis, ia memerintah bersama dengan ibu tirinya, Hatshepsut, yang menjabat sebagai firaun. Berdasarkan peninggalan monumennya, nama
Hatshepsut disebut lebih awal, keduanya menyandang gelar kerajaan dan lambang
yang sama tanpa menunjukkan salah satu memiliki kedudukan lebih tinggi dari
yang lain. Ia menjadi panglima tertinggi balatentara Mesir. Setelah kematian Hatshepsut, Thutmosis III membangun kemaharajaan terbesar yang pernah ada dalam sejarah Mesir Kuno; tak kurang dari 17 ekspedisi militer dilancarkan dan Mesir berhasil
menaklukkan, dari batas paling utara di kerajaan Niya di Suriah utara, hingga
jeram keempat sungai Nil Nubia di selatan. Secara resmi Thutmose III memimpin Mesir selama lima puluh
empat tahun, dalam kurun 24 April 1479 SM hingga 11 Maret 1425 SM; (1504 SM
sampai 1450 SM berdasarkan kronologi tinggi) akan tetapi, ini mencakup kurun
waktu 22 tahun pemerintahannya bersama Hatshepsut—ibu tiri sekaligus bibinya. Pada dua tahun terakhir pemerintahannya, ia
menunjuk putra dan pewarisnya -Amenhotep II, sebagai pemerintah bersama yunior. Ketika Thutmose III wafat, ia
dimakamkan di Lembah Para Raja bersama raja-raja Mesir yang berasal dari periode ini.
c.
Fir’aun Amenhotep
IV (1352 – 1336 SM), menerapkan sistim monotheis dalam kepercayaan sehingga
timbul pertentangan dengan kaum pendeta.
Akhenaten, dikenal
sebagai Amenhotep IV pada awal masa pemerintahannya, adalah firaun dinasti ke-18 Mesir, terutama dikenal
karena mengubah sistem agama Mesir menjadi monoteistis dengan menyembah dewa Aten. Ia adalah anak Amenhotep III dengan istrinya Tiye dan bukan anak laki-laki tertua ayahnya. Ia mulanya tidak direncanakan
menjadi raja sampai kakak laki-lakinya Tuthmose meninggal. Amenhotep IV menjadi raja setelah ayahnya Amenhotep III
wafat setelah memerintah 38 tahun. Istri utama Akhenaten adalah Nefertiti, yang sekarang terkenal karena patungnya di Altes Museum Berlin.
d.
Fir’aun
Tutankhamun (1336 – 1327 SM), tunduk di bawah kendali golongan pendeta.
Nebkheperure Tutankhamun
(kadang dieja dengan Tuten-, -amen, -amon) adalah Firaun dari Dinasti Kedelapanbelas Mesir (memerintah 1336 SM - 1327 SM), pada masa yang
disebut Kerajaan Baru Mesir. Nama aslinya, Tutankhaten, berarti "Jelmaan hidup Aten", sedangkan Tutankhamun berarti "Jelmaan hidup Amun". Pada tahun 1922, makamnya ditemukan
oleh Howard
Carter dan sejak itu Tutankhamun menjadi ikon
populer dari peradaban Mesir Kuno.
e.
Fir’aun
Ramses II (1279 – 1213 SM), berhasil memperluas wilayah Mesir.
Ramses II (juga disebut
Ramses yang Agung) adalah firaun Mesir ketiga yang berasal
dari dinasti ke-19. Ia sering dianggap sebagai firaun terbesar dan terkuat di Mesir Kuno. Sebagai firaun, Ramses II memimpin beberapa
ekspedisi ke Israel, Lebanon dan Suriah. Ia juga memimpin ekspedisi ke Nubia.
Pada awal kekuasaannya, ia fokus dalam pembangunan kota, kuil dan monumen. Ramses II mendirikan kota Pi-Ramesses di Delta Sungai Nil sebagai ibukota barunya dan basis utama untuk kampanye militernya di Suriah.
Pada awal kekuasaannya, ia fokus dalam pembangunan kota, kuil dan monumen. Ramses II mendirikan kota Pi-Ramesses di Delta Sungai Nil sebagai ibukota barunya dan basis utama untuk kampanye militernya di Suriah.
f.
Fir’aun
Ramses III (1183 – 1152 SM).
Usimare
Ramses III (Lebih dikenal dengan sebutan Ramses
atau Rameses) adalah Firaun kedua dari Dinasti Ke-20, yang memerintah
kerajaan terakhir dan terbesar dari Kerajaan Mesir baru yang menguasai mesir.
Dia adalah anak dari Setnakhte
dan Ratu Tiy-Merenese.[20]
Keruntuhan
Kerajaan Mesir Baru terjadi setelah Ramses III meninggal. Sejak tahun 1069 SM,
Mesir berada di bawah kendali kerajaan asing, seperti Nubia, Assyria, Persia,
Macedonia, dan Romawi.[21] Pada tahun
332 SM Alexander Agung menaklukan Mesir untuk Kekaisaran Yunani dan membangun
ibukota Alexandria di mulut Sungai Nil.[22]
B.
Sistem Perekonomian dan Sosial
Kuil
menjadi tulang punggung utama perekonomian yang berperan tidak hanya sebagai
pusat pemujaan, namun juga berperan mengumpulkan dan menyimpan kekayaan negara
dalam sebuah sistem lumbung dan perbendaharaan dengan meredistribusi
biji-bijian dan barang-barang lainnya. Sebagian besar perekonomian diatur
secara ketat dari pusat. Bangsa Mesir Kuno belum mengenal uang koin hingga
Periode Akhir sehingga mereka menggunakan sejenis uang barter berupa karung
beras dan beberapa deben (satuan berat yang setara dengan 91 gram) tembaga atau
perak sebagai denominatornya. Pekerja dibayar menggunakan biji-bijian; pekerja
kasar biasanya hanya mendapat 5 karung (200 kg) biji-bijian per bulan sementara
mandor bisa mencapai 7 karung (250 kg) per bulan.[23]
Sebagian
besar masyarakat bekerja sebagai petani, Petani juga dikenai pajak tenaga kerja
dan dipaksa bekerja membuat irigasi atau proyek konstruksi menggunakan sistem corvée. Seniman dan
pengrajin memunyai status yang lebih tinggi dari petani, namun mereka juga
berada di bawah kendali negara, bekerja di toko-toko yang terletak di kuil dan
dibayar langsung dari kas negara. Juru tulis dan pejabat menempati strata
tertinggi di Mesir Kuno, dan biasa disebut "kelas
kulit putih" karena menggunakan linen berwarna putih yang menandai
status mereka. Perbudakan telah
dikenal, namun bagaimana bentuknya belum jelas diketahui. Mesir Kuno memandang
pria dan wanita, dari kelas sosial apa pun kecuali budak, sama di mata hukum. Baik
pria maupun wanita memiliki hak untuk memiliki dan menjual properti, membuat
kontrak, menikah dan bercerai, serta melindungi diri mereka dari perceraian
dengan menyetujui kontrak pernikahan, yang dapat menjatuhkan denda pada
pasangannya bila terjadi perceraian.[24]
C.
Sistem Hukum
Sistem
hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang bertanggung jawab
membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga hukum dan ketentraman,
sebuah konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno sebagai Ma'at. Dewan
sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru,
bertanggung jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan
kecil. Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya pembunuhan, transaksi tanah
dalam jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan kepada Kenbet Besar
yang dipimpin oleh wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat diharapkan
mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa mereka mengatakan
yang sebenarnya.[25]
D.
Budaya dan
Peninggalan Bangsa Mesir Kuno
Mengenai
budaya sehari-hari, bangsa Mesir Kuno sangat menghargai penampilan dan
kebersihan tubuh. Sebagian besar mandi di Sungai Nil dan menggunakan sabun yang
terbuat dari lemak binatang
dan kapur. Laki-laki bercukur untuk menjaga kebersihan, menggunakan minyak
wangi dan salep untuk mengharumkan dan menyegarkan kulit. Pakaian dibuat dengan
linen sederhana yang diberi warna putih, baik wanita maupun pria di kelas yang
lebih elit menggunakan wig, perhiasan, dan kosmetik. Anak-anak tidak mengenakan
pakaian hingga mereka dianggap dewasa, pada usia sekitar 12 tahun, dan pada
usia ini laki-laki disunat dan dicukur.
Mengenai
perkawinan, kebiasaan perkawinan
mengizinkan poligami dan perkawinan antara kakak-adik; kebiasaan yang
disebutkan belakangan dilakukan di beberapa tempat di Mesir sampai abad
kedua Masehi. Beberapa Firaun diketahui memperistri saudara kandung mereka,
tampaknya karena tidak ada wanita lain yang dianggap cukup suci untuk kawin
dengan ”dewa yang hidup”.
Mengenai
kebudayaan dan peninggalan bersejarah, bangsa mesir Kuno telah mengenal tulisan
sejak 3300 SM. Tulisan itu berupa gambar (piktogram)
yang dinamakan Hieroglif yang artinya
tulisan suci. Imhotep, seorang imam agung, arsitek dan dokter semasa
pemerintahan Fir’aun Sozer berhasil membuat sistem penanggalan. Berdasarkan
penanggalan itu 1 tahun terdiri dari 365 hari. Peninggalan bangsa Mesir Kuno adalah
sebagai berikut:[26]
a. Piramida,
yaitu bangunan raksasa dari batu yang digunakan sebagai makam raja-raja beserta
keluarganya. Piramida pertama dibangun oleh Imhotep untuk makam Firaun Sozer. Piramida terbesar, yaitu yang dibangun
oleh Khufu, mempunyai bidang alas seluas kira-kira 5,3 ha, dengan puncak
setinggi kira-kira 137 m (sama dengan gedung modern bertingkat 40). Menurut
perhitungan, piramida itu menggunakan 2.300.000 balok batu, yang beratnya
masing-masing rata-rata 2,3 ton. Balok-balok itu dibentuk sedemikian
cermatnya sehingga hanya berselisih beberapa milimeter.
b. Spink, yaitu
bangunan raksasa dari batu berupa singa berkepala manusia (wajah Raja Mesir).
Biasanya Spink dibangun di depan piramida sebagai penjaga.
c. Obeliks,
yaitu bangunan batu berupa tugu. Maksud pembangunan Obeliks adalah untuk memuja
Dewa Re.
d. Kuil,
dibangun untuk memuja dewa tertentu. Kuil peninggalan Mesir Kuno antara lain
Kuil Dewa di Heliopolis, Kuil Hatshepsut di Deir-el Bahari, Kuil Aten di Tel el
Amarna, Kuil Dewa Amun di Karnak, dan Kuil di Madinet Habu.
Peninggalan
lainnya, yaitu: dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan matematika, Mesir kuno
telah mencapai standar yang relatif tinggi dan canggih pada masanya. Empirisme
tradisional, sebagaimana dibuktikan oleh Papirus Edwin Smith dan Ebers (1600 SM),
ditemukan oleh bangsa Mesir. Bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan
alfabet dan sistem desimal mereka
sendiri.[27]
E.
Agama dan kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakat Mesir
Kuno adalah politeisme artinya
menyembah banyak dewa-dewi. Dewa-dewi yang dikenal di Mesir sebagai berikut: Amun
(Raja para Dewa), Re (Dewa Matahari), Shu (Dewa Udara), Set (Dewa Gurun, Badai,
dan Bencana), Osiris (Dewa Hakim di Alam Baka).[28]
Kepercayaan
terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian dipegang secara
turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa yang memiliki kekuatan
supernatural namun dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai sosok yang baik;
orang Mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak mengeluarkan
amarah. Kuil tidak dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan hanya pada
hari-hari tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh
masyarakat. Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah
masing-masing, dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari
marabahaya. Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian
fisik dan spiritual. Selain badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan),
ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama. Jantung
dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah kematian, aspek
spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, namun mereka
membutuhkan tubuh fisik mereka (atau dapat digantikan dengan patung) sebagai
tempat untuk pulang. Tujuan utama mereka yang meninggal adalah menyatukan
kembali ka dan ba dan menjadi "arwah yang diberkahi."
Untuk mencapai kondisi itu, mereka yang mati akan diadili, jantung akan
ditimbang dengan "bulu kejujuran." Jika pahalanya cukup, sang arwah
diperbolehkan tetap tinggal di bumi dalam bentuk spiritual.[29]
Mengenai
Adat Pemakaman, orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang
diyakini sebagai kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian. Berbagai kegiatan
dalam adat ini adalah proses mengawetkan tubuh melalui mumifikasi, upacara
pemakaman, dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan oleh
almarhum di akhirat. Sebelum periode Kerajaan Lama, tubuh mayat dimakamkan di
dalam lubang gurun, cara ini secara alami akan mengawetkan tubuh mayat melalui
proses pengeringan. Kegersangan dan kondisi gurun telah menjadi keuntungan
sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi kaum miskin yang tidak mampu mempersiapkan
pemakaman sebagaimana halnya orang kaya. Orang kaya mulai menguburkan orang
mati di kuburan batu, akibatnya mereka memanfaatkan mumifikasi buatan, yaitu
dengan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan
meletakkan mayat ke dalam sarkofagus berupa batu
empat persegi panjang atau peti kayu. Pada permulaan dinasti keempat, beberapa
bagian tubuh mulai diawetkan secara terpisah dalam toples kanopik. Pada periode
Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi. Teknik
terbaik pengawetan mumi memakan waktu kurang lebih 70 hari lamanya, selama
waktu tersebut secara bertahap dilakukan proses pengeluaran organ internal,
pengeluaran otak melalui hidung, dan pengeringan tubuh menggunakan campuran
garam yang disebut natron. Selanjutnya tubuh dibungkus menggunakan kain, pada
setiap lapisan kain tersebut disisipkan jimat pelindung, mayat kemudian
diletakkan pada peti mati yang disebut antropoid. Mumi periode akhir diletakkan
pada laci besar cartonnage yang telah dicat. Praktik pengawetan mayat asli
mulai menurun sejak zaman Ptolemeus dan Romawi, pada zaman ini masyarakat mesir
kuno lebih menitikberatkan pada tampilan luar mumi. Orang kaya Mesir dikuburkan
dengan jumlah barang mewah yang lebih banyak. Tradisi penguburan barang mewah
dan barang-barang sebagai bekal almarhum juga berlaku pada semua masyarakat
tanpa memandang status sosial. Pada permulaan Kerajaan Baru, buku kematian ikut disertakan
di kuburan, bersamaan dengan patung shabti yang
dipercaya akan membantu pekerjaan mereka di akhirat. Setelah pemakaman, kerabat
yang masih hidup diharapkan untuk sesekali membawa makanan ke makam dan
mengucapkan doa atas nama almarhum.[30]
F. Bangsa
Orang Mesir adalah keturunan Ham,
tampaknya terutama dari keturunan Mizraim, putra Ham. (Kej 10:6) Setelah
penyebaran dari Babel (Kej 11:8, 9), banyak di
antara keturunan Mizraim, seperti Ludim, Anamim, Lehabim, Naftuhim, dan
Patrusim, bisa jadi bermigrasi ke Afrika Utara. (Kej 10:6, 13, 14).
Berdasarkan lukisan-lukisan kuno dan juga jenazah yang dimumikan, orang Mesir
masa awal secara umum digambarkan berperawakan kecil, langsing, dan meskipun
tidak termasuk Negroid, berkulit gelap. Akan tetapi, lukisan dan pahatan kuno
menunjukkan adanya keragaman penduduk yang cukup besar.
G.
Bahasa
Para
pakar modern cenderung menggolongkan bahasa Mesir dalam kelompok bahasa
”Semito-Hamitik”. Meskipun bahasa tersebut pada dasarnya Hamitik, menurut
beberapa pakar ada banyak persamaan dalam tata bahasanya dengan tata bahasa
Semitik, serta beberapa persamaan dalam kosakatanya. Walaupun ada hubungan yang
demikian nyata, telah diakui bahwa ”perbedaan bahasa Mesir dengan semua bahasa
Semitik jauh lebih banyak dibandingkan dengan perbedaan di antara bahasa-bahasa
Semitik itu sendiri, dan setidak-tidaknya sampai hubungannya dengan
bahasa-bahasa Afrika diidentifikasikan dengan lebih akurat, bahasa Mesir jelas
harus dibedakan dari kelompok bahasa Semitik”.[31]
H.
Kaitan
Mesir Dengan Israel
Mesir menjadi tempat perbudakan
bangsa Israel sebagaimana dikatakan oleh Marthinus Th. Mawene dalam bukunya
‘Teologi Kemerdekaan’ bahwa negeri Mesir setelah berakhirnya pemerintahan
dinasti Hyksos, berubah fungsi dari negeri kelepasan menjadi negeri tempat
Israel diperbudak. Maka Mesir menjadi lambang negeri perbudakan. Di antara
kedua negeri ini terbentang padang gurun, yakni tanah yang gersang, berbatu
karang, berhamparan lautan pasir, langka kehijauan dan langkah sumber air.
Situasi alam yang kejam di tanah padang gurun ini membuat penghuninya
berperilaku keras dan kejam pula.[32]
Menurut David L. Baker & John
J. Bimson, Orang Israel (keturunan Yakub) menduduki daerah yang disebut Gosyen,
terdapat di bagian timur delta Sungai Nil di Mesir, di mana ada tanah yang baik
untuk menggembalakan ternak (Kej. 47:1-6).[33] Orang Israel tinggal di Mesir selama 430
tahun (Kel. 12:40-41).[34] Para penguasa Mesir mulai merasa terancam
dengan sekelompok orang yang tumbuh berkembang (orang Israel) sehingga
orang-orang Israel ditempatkan untuk bekerja sebagai budak di ladang-ladang
gandum dan proyek-proyek pembangunan.[35]
Yusuf
berumur 39 tahun pada waktu orang tua dan saudara-saudaranya menetap di Mesir
(bnd. Kej. 41:46, 53-54; 45:11) dan dia hidup sampai umur 110 tahun (Kej. 50:22-26).
Pembudakan terhadap orang Israel itu terjadi di bawah pemerintahan seorang raja
yang tidak mengenal Yusuf (Kel. 1:8-11). Alkitab tidak menyebutkan nama Firaun
yang memulai penindasan atas orang Israel (Kel 1:8-22) maupun
Firaun yang di hadapannya Musa dan Harun tampil dan yang di bawah
pemerintahannya Eksodus terjadi (Kel 2:23; 5:1), dan
karena peristiwa-peristiwa itu sengaja dihapus dari catatan orang Mesir atau
catatan tersebut telah dimusnahkan, sehingga tidak dapat ditetapkan dengan
pasti pada masa dinasti yang mana ataupun di bawah pemerintahan Firaun yang
mana peristiwa-peristiwa tersebut terjadi dalam sejarah sekuler. Ramses
(Rameses) II (dari ”Dinasti Ke-19”) sering kali dianggap sebagai Firaun
penindas berdasarkan rujukan tentang pembangunan kota Pitom dan Raamses oleh
para pekerja Israel. (Kel 1:11) Kota-kota
itu konon dibangun selama pemerintahan Ramses II. Pada mulanya kerja paksa
yang ditentukan oleh keputusan raja untuk orang Israel mencakup pekerjaan tanah
liat dan membuat batu bata (Kel. 1:14), dan pembuatan batu bata masih merupakan
pekerjaan yang utama pada zaman Musa, tidak lama sebelum mereka keluar dari
Mesir (Kel. 5:6-19).[36]
Allah
membebaskan bangsa Israel dengan perantaraan Musa, memerdekakan mereka dari
”rumah budak” dan ”tanur besi”, sebutan untuk Mesir yang terus-menerus
digunakan oleh para penulis Alkitab. Menetapnya bangsa Israel untuk sementara
di Mesir terukir dalam ingatan bangsa itu dan tak mudah terlupakan, dan
pembebasan mereka secara mukjizat dari negeri tersebut secara tetap diingatkan
kembali sebagai bukti yang menonjol tentang Keilahian Yahwe. Pengalaman mereka
di Mesir dituliskan dalam Hukum yang diberikan kepada mereka (Kel 20:2, 3; Ul 5:12-15);
pengalaman itu merupakan dasar untuk perayaan Paskah (Kel 12:1-27; Ul 16:1-3);
pengalaman itu membimbing mereka dalam berurusan dengan penduduk asing (Kel 22:21; Im 19:33, 34) dan dengan
orang miskin yang menjual diri ke dalam perbudakan (Im 25:39-43, 55; Ul 15:12-15);
pengalaman itu menyediakan dasar hukum untuk pemilihan dan penyucian suku Lewi
bagi dinas di tempat suci (Bil 3:11-13). Israel
pernah menjadi penduduk asing di Mesir sehingga orang Mesir yang memenuhi
persyaratan tertentu dapat diterima ke dalam jemaat Israel. (Ul 23:7, 8).
Kerajaan-kerajaan Kanaan dan orang-orang di negeri-negeri tetangga merasa
takjub dan takut karena laporan-laporan yang mereka dengar tentang kuasa Allah
yang diperlihatkan terhadap Mesir sehingga merintis jalan bagi Israel untuk
menaklukkan mereka (Kel 18:1, 10, 11; Ul 7:17-20; Yos 2:10, 11; 9:9) dan terus
diingat selama berabad-abad setelah itu.
Mesir dan umat Israel memiliki hubungan yang kusut di sepanjang periode
Alkitab, Abad Pertengahan dan zaman modern. Sebagai salah satu peradaban besar
dunia purba, Mesir relatif bebas dari invasi bangsa-bangsa asing hingga
kedatangan bangsa Asyur (abad ke-7 sM), dan menikmati iklim yang baik serta
kesejahteraan ekonomi. Di berbagai zaman Mesir menjadi tempat berlindung para
pengungsi Israel (1Raj.
11:17; 12:3). Kekuatan militer yang
dominan dan kebudayaannya berpengaruh terhadap Israel -- meskipun tidak pernah
berpengaruh secara langsung dalam bidang keagamaan, bahkan kalaupun Musa (nama
Mesir) dididik dalam hikmat Mesir (Kis.
7:22). Abraham pergi ke Mesir
untuk bertahan hidup. Yusuf dibuang ke sana dengan paksa, namun di sana ia
menjadi masyhur. Keluaran dari Mesir selalu melekat dalam ingatan bangsa
Israel. Setelah menetap di Palestina, negara Israel dan Yehuda selalu mengalami
tekanan dari kekuatan angkatan perang di timur laut dan dari Mesir di barat
daya. Selama monarkhi Israel ada di sana, tawanan-tawanan yang ditangkap oleh
Mesir melakukan perampasan terhadap kelompok-kelompok orang. Ismael dan para
pengikutnya melarikan diri ke sana. Mesir memaksa Yeremia pergi bersama mereka
setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan Babel. Yusuf dan Maria dilaporkan telah
membawa bayi Yesus ke Mesir (Mat.. 2:13), untuk melarikan diri dari kemarahan Herodes (PL dalam PB). Pada abad
ke-5 sM koloni militer orang-orang Yahudi didirikan di daerah Elephantine,
perbatasan dengan Mesir, dan selama kira-kira dua abad hingga 73 M, di
Leontopolis terdapat kuil Yahudi. Di Aleksandria terdapat penduduk Yahudi dalam
jumlah besar, dan sejarawan Eusebius mencatat tradisi bahwa jemaat di sana
didirikan oleh Markus, si penginjil itu. Sebelum penganiayaan besar pada abad
ke-3 M, Gereja di Mesir hanya sedikit diketahui, namun akhirnya di negara itu
komunitas Kristen menjadi kelompok keagamaan yang mencolok, hingga penaklukan
oleh Islam pada abad ke-7. Kekristenan di sana masih bertahan hidup sebagai
Gereja kecil Koptik.[37]
Kesimpulan
Sejarah kekaisaran Mesir Kuno dibagi
menjadi masa pradinasti dan Masa Dinasti. Pada masa Pradinasti, daerah Mesir
terbagi menjadi beberapa bagian. Pada akhir abad ke – 40 SM, daerah Mesir yang
terpecah – pecah itu disatukan menjadi dua kelompok besar yang dikenal dengan
sebutan Mesir Hulu dan Mesir Hilir. Kedua bagian itu kemudian disatukan di
bawah pemerintahan Menes. Sejak saat itu mulai dikenal masa Dinasti. Masa itu
mulai pada sekitar 3000 SM dan berakhir sekitar 332 SM ketika Mesir dikuasai
oleh Alexander Agung (Iskandar Zulkarnaen) .
DAFTAR
PUSTAKA
David
L. Baker, David L, Bimson, John J. Mari
Mengenal Arkeologi Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Eryadi.
Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap
(IPSL) SMP. Jakarta: Kawan Pustaka, 2004.
Hart,
Michael H. 100 Orang Paling Berpengaruh
di Dunia Sepanjang Sejarah. Jakarta: Hikmah, 2009.
Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Cet-7. Jakarta: Gunung Mulia,
2004.
Keene, Michael. Seri Access Guides Alkitab. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
Kerr, P. B. The Akhenaten Adventure-Children of the
Lamp1. New York.
Mawene,
Marthinus Th. Teologi Kemerdekaan. Jakarta:
Gunung Mulia, 2004.
Sumardianta, J. Sejarah untuk SMA/MA kelas X. Jakarta:
Gracindo, t.t.
Supriatna, Nana. Sejarah.
Jakarta: Grafindo Media Pratama, t.t.
Shaw, Ian, ed (2000), The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford
University Press, 158, http://id.wikibooks.7val.com/wiki/Sejarah_Kekaisaran/Mesir.
[2]http://www.sarapanpagi.org/mesir-vt2983.html. Diakses pada hari
Selasa, tanggal 19 Maret 2013, pkl. 18.05 WIB.
[3]http://zeithmind.blogspot.com/2010/12/kisah-peradaban-mesir-kuno.html. Diakses pada hari Rabu,
tanggal 13 Maret 2013, pkl. 20.00 WIB.
[6]Sejarah,
http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses
pada hari Senin, tanggal 18 Maret 2013, pkl. 22.00 WIB
[9]http://agussiz.blogspot.com/2010/02/peradaban-mesir-kuno.html. Diakses pada hari
Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 14.14 WIB.
[12]Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia
Sepanjang Sejarah (Jakarta: Hikmah, 2009), 519.
[14]Shaw, Ian,
ed (2000), The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford University Press,
158, http://id.wikibooks.7val.com/wiki/Sejarah_Kekaisaran/Mesir.
Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 19.38 WIB.
[16]http://bagusseven.blogspot.com/2012/06/penguasa-penting-mesir-kuno.html.
Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 19. 40 WIB.
[18]Shaw, Ian,
ed (2000), 481, http://id.wikibooks.7val.com/wiki/Sejarah_Kekaisaran/Mesir.
Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 20.38 WIB.
[19]http://bagusseven.blogspot.com/2012/06/penguasa-penting-mesir-kuno.html. Diakses pada hari
Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 21.10 WIB.
[20]http://id.wikipedia.org/wiki/Ramses_III. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 21.
22 WIB.
[23]Manuelian
(1998), 363, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Kamis, tanggal
14 Maret 2013, pkl. 20.00 WIB.
[25]Sistem
Hukum, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses
pada hari Jumat, tanggal 15 Maret 2013, pkl. 10.15 WIB.
[27]Teknologi,
Pengobatan, Matematika, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal
15 Maret 2013, pkl. 10.20 WIB.
[29]Agama
dan Kepercayaan, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal
15 Maret 2013, pkl. 10.30 WIB.
[30]Adat
Pemakaman, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal 15
Maret 2013, pkl. 10.30 WIB.
[31]http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2333594-masyarakat-mesir-kuno-percaya-dan/.
Diakses pada hari Minggu, tanggal 24 Maret 2013, pkl. 20.05 WIB.
[33]David L. Baker, John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 86.
[37]http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=orang%20Mesir. Diakses pada hari Selasa, 19 Maret
2013, pkl. 22.08 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar