Senin, 19 Agustus 2013

Makalah : MESIR KUNO

PENDAHULUAN

  Peradaban Mesir Kuno adalah salah satu peradaban tertua di dunia, terdapat di lembah Sungai Nil mulai dari 4000 tahun SM. Karena terletak di lembah Sungai Nil, maka Mesir merupakan negeri yang sangat subur. Berbicara tentang Mesir tidak bisa dilepaskan dari sungai Nil, karena sungai inilah yang menjadi roh bagi rakyat Mesir. Sejarawan Yunani Kuno pada abad ke-5 menyebut Mesir sebagai “Hadiah dari Sungai Nil” (The give of the Nile). Dengan kata lain, kemakmuran mereka diperoleh berkat hadiah Sungai Nil. Walaupun demikian, kemakmuran yang dihadiahkan Sungai Nil lebih banyak dinikmati oleh Firaun dan golongan bangsawan, bukan oleh petani.[1]
Menurut sejarah, bangsa Semit yang tinggal di sekeliling Mesir (Asyiria, Aram, lbrani dan Arab) menyebut negeri ini dengan nama MITSRAYIM  yang berarti batas dan penduduknya sebagai MITSRY. Berbeda pula dengan orang-orang Qibti yang menyebut negeri ini pada zaman lampau dengan istilah Kemy yang membawa arti hitam atau tanah yang hitam. Orang-orang Yunani menyebut Mesir dengan nama aiguptus / aigyptos. Nama Aigyptos ini disebut berulangkali dalam syair-syair pujangga agung Yunani, Homerus.[2]
            Secara geografis wilayah Mesir berbatasan dengan negara Sudan di bagian Selatan. Bagian Barat berbatasan dengan negara Libya, bagian Utara dengan laut Tengah dan bagian Timur dengan laut Merah. Keunikan secara geografis, wilayah Mesir merupakan pintu penghubung bagi 3 benua; Eropa, Afrika dan Asia. Posisi inilah yang menjadikan wilayah Mesir menjadi incaran berbagai bangsa sejak zaman dahulu. Selain itu, Mesir secara geografis memiliki perlindungan alam berupa gurun. Gurun Nubia dan Gurun Sahara menjadikan Mesir terlindungi dari ancaman serangan bangsa asing.[3]
            Menurut David F. Hinson, sekitar tahun 2900 SM, untuk pertama kalinya terbentuk suatu kesatuan politik yang besar di Mesir dikenal dengan nama Kerajaan Mesir Kuno.[4] Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3500 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium. Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai oleh periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan Firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.[5]
  Awalnya Mesir kuno terdiri dari dua daerah terisolasi yang dilalui Sungai Nil yaitu Mesir Hulu atau Mesir atas yang terletak di bagian selatan dan Mesir hilir atau Mesir bawah yang terletak di bagian utara. Bagian Hulu berada di selatan di mana daerahnya berupa lembah sempit. Penduduknya bersikap lebih tertutup dibandingkan dengan yang di hilir. Penduduk di Mesir Hilir berkembang ke dalam sistem  yang bersifat kekotaan, penduduk di Hulu tetap bersifat pedesaan. Keadaan tersebut menimbulkan sikap berlainan antara kedua daerah, persaingan dan konflik pun sering terjadi. 3000 SM masyarakat Mesir bagian Utara telah berhasil membangun kekuatan politik untuk menguasai Mesir daerah Selatan dengan dibentuknya sebuah kerajaan. Namun, usaha untuk menguasai Mesir bagian Selatan gagal. Dengan demikian timbul dua kerajaan Mesir dengan mahkotanya sendiri-sendiri.
              Mesir Kuno memiliki beberapa periodisasi sebagai berikut:[6]
1.      Periode Pradinasti : Pada masa ini merupakan sebuah periode antara Neolitikum awal dan permulaan monarki yang dimulai dengan Raja Narmer. Pada masa ini suku-suku kecil mulai berkembang dan menetap di lembah Sungai Nil.
2.      Periode Dinasti Awal (Dinasti 1 & 2) : Pada masa ini, mayoritas penduduk Mesir kuno adalah petani yang tinggal di desa-desa kecil, dan pertanian (sebagian besar gandum dan sejenis gandum sebagai bahan dasar pembuatan bir) membentuk basis ekonomi negara Mesir.
3.      Kerajaan Lama (Dinasti 3, 4, 5, 6) : Pada masa ini, bangsa Mesir membangun piramida sebagai makam bagi para firaun.
4.      Periode Menengah Pertama Mesir (Dinasti 7, 8, 9, 10) : Pada masa ini disebut dengan "periode gelap" dalam sejarah Mesir kuno karena pemerintah tidak lagi mampu mendukung dan menstabilkan ekonomi negara akibatnya Mesir terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, hal ini berlangsung sekitar tiga ratus tahun setelah berakhirnya Kerajaan Lama.
5.      Kerajaan Pertengahan (Dinasti 11, 12, 13, 14) : Pada masa ini, para firaun berhasil menyatukan kembali Mesir, namun para firaun Kerajaan Pertengahan tak sekuat para firaun Kerajaan Lama, mereka tidak lagi membangun piramida.
6.      Periode Menengah Kedua dan Hyksos (Dinasti 15, 16, 17) : Pada masa ini, para firaun Kerajaan Pertengahan kembali kehilangan kekuasaan. Selama Periode Pertengahan Kedua, bangsa Hyksos dari utara menginvasi Mesir dan menguasai Mesir Hilir untuk sementara waktu. Bangsa Hyksos memiliki kuda dan kereta perang, dan dengan cepat pasukan Mesir juga belajar cara menggunakan kuda dan kereta perang.
7.      Kerajaan Baru (Dinasti 18,19, 20) : Pada masa ini, para firaun Mesir dari Mesir Hulu berhasil mengusir bangsa Hyksos dan menyatukan kembali Mesir dalam satu negara yang disebut Kerajaan Baru. Masa ini disebutkan dalam Injil dan Al Qur'an, yaitu tentang penindasan Israel (bangsa Yahudi) oleh bangsa Mesir.
8.      Periode Menengah Ketiga (Dinasti 21, 22, 23, 24, 25) : Pada masa ini, pemerintah terpusat di bawah dinasti firaun ke-21 memberi jalan kepada kebangkitan pejabat lokal, sedangkan orang asing dari Libya dan Nubia merebut kekuasaan untuk diri mereka sendiri dan meninggalkan jejak yang abadi pada penduduk Mesir. Dinasti ke-22 dimulai sekitar 945 SM dengan Raja Sheshonq, seorang keturunan Libya yang telah menginvasi Mesir selama dinasti 20-an dan menetap di sana. Banyak penguasa lokal hampir menjadi otonom selama periode ini dan dinasti ke-23 dan ke-24 tidak terdokumentasikan secara baik. Pada abad kedelapan SM, Nubia Fir'aun dimulai dengan Shabako, penguasa kerajaan Nubia dari Kush, mendirikan dinasti mereka sendiri dinasti ke- 25 di Thebes. Di bawah kekuasaan Kushite, Mesir bentrok dengan kekaisaran yang sedang tumbuh yaitu Asiria. Pada tahun 671 SM, penguasa Asyur Esarhaddon mengusir raja Kushite Taharka keluar dari Memphis dan menghancurkan kota itu, ia kemudian mengangkat penguasanya sendiri yang loyal sebagai gubernur dan pejabat setempat. Salah satunya, Necho dari Sais, memerintah secara singkat sebagai raja pertama dari dinasti ke-26 sebelum dibunuh oleh pemimpin Tanuatamun Kushite, di masa akhir pemerintahannya. Mencerminkan ketidakberhasilan pengambil alihan kekuasaan.
9.      Periode Akhir (Dinasti 26, 27, 28, 29, 30) : Pada masa ini, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Sais Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.
Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.

A.    Sistem Pemerintahan
              Sistem pemerintahan peradaban Mesir Kuno adalah “kerajaan”. Kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Raja dianggap sebagai turunan dewa matahari yang bernama Re. Dewa Re dianggap sebagai raja pertama Mesir.[7] Raja-raja Mesir Kuno memiliki gelar Pharao atau Fir’aun. Kata Fir’aun sendiri berarti rumah besar.[8] Setiap desa dikepalai oleh seorang kepala desa, tugasnya menarik pajak dari petani dan menyerahkannya kepada raja. Raja Fir’aun mempunyai kekuasaan mutlak. Secara umum perkembangan sistem pemerintahan kerajaan Mesir Kuno terbagi menjadi 3 masa, yaitu:[9]
1.      Zaman Kerajaan Mesir Tua
            Kerajaan Mesir tua berlangsung sejak masa pemerintahan Fir’aun Menes sampai dengan pemerintahan Pepi II (3100-2134 SM). Raja-raja yang memerintah pada masa ini menganggap diri mereka dewa dan memerintah dengan kekuasaan absolut.[10] Masa kerajaan Mesir Tua dikenal sebagai Abad Piramida karena pada masa itu banyak dibangun piramida raksasa. Bangsa Mesir membangun piramida sebagai makam bagi para Fir’aun. Ibukota kerajaan Mesir Tua adalah Memphis.
            Mesir terbagi menjadi 42 distrik administrasi yang disebut dengan nomes. Setiap nomes dipimpin oleh seorang nomarch (orang yang bertanggungjawab terhadap wasir atau perdana menteri). Semasa Fir’aun Pepi II berkuasa, pemerintah pusat menjadi lemah karena persaingan di antara nomarch. Setelah Pepi II meninggal, Mesir terpecah belah dan menandai berakhirnya masa Kerajaan Mesir Tua.[11] Raja-raja penting yang memerintah pada zaman ini, antara lain:
a. Fir’aun Menes
Merupakan raja terbesar pada masa ini. Ia berasal dari Thinis, sebuah kota di Mesir Selatan.[12] Prestasi yang dicapai oleh raja ini adalah berhasil menyatukan kerajaan Mesir Hulu dengan Mesir Hilir. Oleh karena itu ia mendapat gelar “Nesutbit” raja Mesir yang bermahkota kembar.
b. Fir’aun Djoser (2635 – 2610 SM)
Merupakan raja Mesir yang sangat terkenal pada dinasti ketiga Mesir. Prestasi yang berhasil diukir selama pemerintahan Kerajaan Kuno di antaranya adalah sebagai berikut:[13]
-          Pembangunan piramid-piramid besar.
-          Dibangunnya Spinx yaitu bangunan yang berbadan singa tetapi berkepala raja. Pada umumnya Spinx diletakkan di depan piramid.
c.  Fir’aun Pepi II (2278 - 2184 SM)
Merupakan Firaun Dinasti keenam. Penguasa terbaik terakhir dari Kerajaan Tua. Ia menjadi raja pada umur enam tahun, sewaktu kematian ayahnya, dan dipercayai menduduki takhta selama 94 tahun (± 2278 SM – ± 2184 SM), prestasinya adalah memiliki masa pemerintahan terpanjang pada monarki manapun sepanjang sejarah, walaupun perhitungan ini masih menjadi perdebatan di kalangan egyptologis.
2.      Zaman Kerajaan Mesir Pertengahan
              Masa Kerajaan Mesir Pertengahan (2040-1640 SM) diawali oleh keberhasilan Fir’aun Mentuhotep II dari Thebe menaklukan Raja Herakleopolis. Mesir dipersatukan kembali dengan ibu kotanya Thebe. Pada masa ini, Fir’aun tidak lagi dianggap sebagai dewa, tapi sebagai perwakilan dewa di bumi. Pada masa pemerintahan Raja Amenemhet I (Firaun dinasti 12), ia berhasil menggulingkan Mentuhotep IV dan ibukota Mesir dipindahkan ke Itjawy, dekat Memphis. Dari Itjawy, firaun dinasti ke-12 melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang disebut "tembok-tembok penguasa", sebagai perlindungan dari serangan asing.[14]
              Sejak pemerintahan Ratu Sobek-Nefuru, pemerintahan pusat semakin lemah. Mesir kembali terpecah-belah. Akhir kerajaan Mesir Pertengahan ditandai oleh serangan bangsa Hyksos dari Timur Tengah. Kemudian Mesir diperintah oleh bangsa dari rumpun Semit dan ibukotanya dipindahkan ke Awaris.[15]
Raja-raja penting yang memerintah, antara lain:[16]
a.      Fir’aun Mentuhotep II (2046 – 1995 SM)
Raja Mesir dari dinasti ke-11, putra Intef III dari Mesir dan ratu kecil yang dijuluki Iah. Istrinya merupakan Tem 'ibu sang raja'. Istri lainnya adalah Neferu (saudaranya) dan lima wanita yang dimakamkan di kompleks pemakamannya. Satu-satunya putranya yang diketahui adalah Mentuhotep III. Raja mengganti namanya beberapa kali selama berkuasa, yang mungkin mencerminkan peristiwa-peristiwa politik yang penting. Nama singgasananya adalah Nebhepetre, dan dia merupakan penguasa pertama Kerajaan Pertengahan Mesir. Daftar Raja Turin mengkreditkan dia dengan kekuasaan selama 51 tahun. Prestasinya adalah dapat menaklukkan raja Herakleopolis dan menyatukan kembali Mesir Kuno dengan ibukotanya Thebe. Mentuhotep II membangun kuil-kuil dan kapel di beberapa tempat di Mesir Hulu. Ia juga menyatakan dirinya sebagai setengah dewa, setengah abadi. Tradisi ini berlanjut dibawah penerusnya.
b.      Fir’aun Amenemhet I (1991 – 1962 SM)
Adalah penguasa pertama dinasti kedua belas Mesir (dinasti yang dianggap sebagai awal periode Kerajaan Pertengahan Mesir). Prestasinya adalah dapat memindahkan ibukota dari Thebes ke Itjawy. Selain itu dalam bidang pertanian, ia melakukan reklame tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen.[17]
c.       Fir’aun Amenemhat III (1860 – 1814 SM)
Ia membangun piramida pertamanya di Dahshur ("Piramida Hitam"), tetapi ada masalah konstruksi sehingga tidak dilanjutkan. Piramida di Dahshur digunakan untuk tempat pemakaman beberapa perempuan kerajaan.
3.      Zaman Kerajaan Mesir Baru
              Kerajaan Baru Mesir, disebut juga Kekaisaran Mesir, adalah periode dalam sejarah Mesir kuno antara abad ke-16 dan ke-11 SM, meliputi dinasti Mesir kedelapan belas, kesembilan belas, dan kedua puluh. Kerajaan Baru didahului oleh Periode Pertengahan Kedua dan diteruskan oleh Periode Pertengahan Ketiga. Pada masa Kerajaan Baru, Mesir menjadi negara yang amat makmur dan mencapai puncak kejayaannya.[18]
              Zaman kerajaan Mesir Baru (1552-1069 SM) diawali dengan pendudukan bangsa Hyksos. Raja yang berhasil mengusir orang-orang Hyksos adalah Fir’aun Ahmosis I dari kerajaan Thebe. Beberapa raja penting pada masa Mesir Baru yaitu:[19]


a.      Fir’aun Ahmosis I (1550-1525 SM)
              Ahmosis I (kadang-kadang ditulis Amosis I, "Amenes" dan "Aahmes" dan berarti Lahir dari Bulan) adalah firaun Mesir Kuno dan pendiri dinasti kedelapan belas Mesir. Ia adalah anggota keluarga kerajaan Thebes. Ayahnya, Seqenenre Tao II, dan saudaranya, Kamose, adalah firaun pada masa dinasti ketujuh belas Mesir. Pada masa kekuasaan ayahnya, Thebes mulai memberontak melawan Hyksos yang menguasai Mesir Hilir. Ketika Ahmosis masih berusia tujuh tahun, ayahnya tewas. Selanjutnya, saat masih berumur sepuluh tahun, saudaranya Kamose meninggal setelah berkuasa selama tiga tahun. Maka Ahmose I menggantikan saudaranya sebagai firaun. Pada masa kekuasaannya, ia menyelesaikan pengusiran Hyksos dari delta sungai Nil. Ahmose I merestorasi kekuasaan Thebes atas seluruh Mesir dan mempertegas kembali kekuatan Mesir di Nubia dan Kanaan. Ia lalu mereorganisir pemerintahan negara, membuka kembali tambang-tambang dan jalur perdagangan, dan juga melancarkan proyek pembangunan besar. Masa kekuasaannya menjadi pondasi bagi periode Kerajaan Baru, saat Mesir mencapai puncak kejayaannya.
b.      Fir’aun Tuthomosis III (1500 – 1447 SM), memperluas wilayah kerajaan Mesir.
              Thutmosis III (kadang dibaca Tuthmosis III atau Thutmose III yang berarti Putra Thoth) adalah Firaun keenam dari Dinasti ke-18. Selama dua puluh dua tahun pertama pemerintahan Thutmosis, ia memerintah bersama dengan ibu tirinya, Hatshepsut, yang menjabat sebagai firaun. Berdasarkan peninggalan monumennya, nama Hatshepsut disebut lebih awal, keduanya menyandang gelar kerajaan dan lambang yang sama tanpa menunjukkan salah satu memiliki kedudukan lebih tinggi dari yang lain. Ia menjadi panglima tertinggi balatentara Mesir. Setelah kematian Hatshepsut, Thutmosis III membangun kemaharajaan terbesar yang pernah ada dalam sejarah Mesir Kuno; tak kurang dari 17 ekspedisi militer dilancarkan dan Mesir berhasil menaklukkan, dari batas paling utara di kerajaan Niya di Suriah utara, hingga jeram keempat sungai Nil Nubia di selatan. Secara resmi Thutmose III memimpin Mesir selama lima puluh empat tahun, dalam kurun 24 April 1479 SM hingga 11 Maret 1425 SM; (1504 SM sampai 1450 SM berdasarkan kronologi tinggi) akan tetapi, ini mencakup kurun waktu 22 tahun pemerintahannya bersama Hatshepsut—ibu tiri sekaligus bibinya. Pada dua tahun terakhir pemerintahannya, ia menunjuk putra dan pewarisnya -Amenhotep II, sebagai pemerintah bersama yunior. Ketika Thutmose III wafat, ia dimakamkan di Lembah Para Raja bersama raja-raja Mesir yang berasal dari periode ini.
c.       Fir’aun Amenhotep IV (1352 – 1336 SM), menerapkan sistim monotheis dalam kepercayaan sehingga timbul pertentangan dengan kaum pendeta.
              Akhenaten, dikenal sebagai Amenhotep IV pada awal masa pemerintahannya, adalah firaun dinasti ke-18 Mesir, terutama dikenal karena mengubah sistem agama Mesir menjadi monoteistis dengan menyembah dewa Aten. Ia adalah anak Amenhotep III dengan istrinya Tiye dan bukan anak laki-laki tertua ayahnya. Ia mulanya tidak direncanakan menjadi raja sampai kakak laki-lakinya Tuthmose meninggal. Amenhotep IV menjadi raja setelah ayahnya Amenhotep III wafat setelah memerintah 38 tahun. Istri utama Akhenaten adalah Nefertiti, yang sekarang terkenal karena patungnya di Altes Museum Berlin.
d.      Fir’aun Tutankhamun (1336 – 1327 SM), tunduk di bawah kendali golongan pendeta.
              Nebkheperure Tutankhamun (kadang dieja dengan Tuten-, -amen, -amon) adalah Firaun dari Dinasti Kedelapanbelas Mesir (memerintah 1336 SM - 1327 SM), pada masa yang disebut Kerajaan Baru Mesir. Nama aslinya, Tutankhaten, berarti "Jelmaan hidup Aten", sedangkan Tutankhamun berarti "Jelmaan hidup Amun". Pada tahun 1922, makamnya ditemukan oleh Howard Carter dan sejak itu Tutankhamun menjadi ikon populer dari peradaban Mesir Kuno.
e.       Fir’aun Ramses II (1279 – 1213 SM), berhasil memperluas wilayah Mesir.
              Ramses II (juga disebut Ramses yang Agung) adalah firaun Mesir ketiga yang berasal dari dinasti ke-19. Ia sering dianggap sebagai firaun terbesar dan terkuat di Mesir Kuno. Sebagai firaun, Ramses II memimpin beberapa ekspedisi ke Israel, Lebanon dan Suriah. Ia juga memimpin ekspedisi ke Nubia.
Pada awal kekuasaannya, ia fokus dalam pembangunan kota, kuil dan monumen. Ramses II mendirikan kota
Pi-Ramesses di Delta Sungai Nil sebagai ibukota barunya dan basis utama untuk kampanye militernya di Suriah.
f.       Fir’aun Ramses III (1183 – 1152 SM).
          Usimare Ramses III (Lebih dikenal dengan sebutan Ramses atau Rameses) adalah Firaun kedua dari Dinasti Ke-20, yang memerintah kerajaan terakhir dan terbesar dari Kerajaan Mesir baru yang menguasai mesir. Dia adalah anak dari Setnakhte dan Ratu Tiy-Merenese.[20] Keruntuhan Kerajaan Mesir Baru terjadi setelah Ramses III meninggal. Sejak tahun 1069 SM, Mesir berada di bawah kendali kerajaan asing, seperti Nubia, Assyria, Persia, Macedonia, dan Romawi.[21] Pada tahun 332 SM Alexander Agung menaklukan Mesir untuk Kekaisaran Yunani dan membangun ibukota Alexandria di mulut Sungai Nil.[22]

B.     Sistem Perekonomian dan Sosial
              Kuil menjadi tulang punggung utama perekonomian yang berperan tidak hanya sebagai pusat pemujaan, namun juga berperan mengumpulkan dan menyimpan kekayaan negara dalam sebuah sistem lumbung dan perbendaharaan dengan meredistribusi biji-bijian dan barang-barang lainnya. Sebagian besar perekonomian diatur secara ketat dari pusat. Bangsa Mesir Kuno belum mengenal uang koin hingga Periode Akhir sehingga mereka menggunakan sejenis uang barter berupa karung beras dan beberapa deben (satuan berat yang setara dengan 91 gram) tembaga atau perak sebagai denominatornya. Pekerja dibayar menggunakan biji-bijian; pekerja kasar biasanya hanya mendapat 5 karung (200 kg) biji-bijian per bulan sementara mandor bisa mencapai 7 karung (250 kg) per bulan.[23]
              Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani, Petani juga dikenai pajak tenaga kerja dan dipaksa bekerja membuat irigasi atau proyek konstruksi menggunakan sistem corvée. Seniman dan pengrajin memunyai status yang lebih tinggi dari petani, namun mereka juga berada di bawah kendali negara, bekerja di toko-toko yang terletak di kuil dan dibayar langsung dari kas negara. Juru tulis dan pejabat menempati strata tertinggi di Mesir Kuno, dan biasa disebut "kelas kulit putih" karena menggunakan linen berwarna putih yang menandai status mereka. Perbudakan telah dikenal, namun bagaimana bentuknya belum jelas diketahui. Mesir Kuno memandang pria dan wanita, dari kelas sosial apa pun kecuali budak, sama di mata hukum. Baik pria maupun wanita memiliki hak untuk memiliki dan menjual properti, membuat kontrak, menikah dan bercerai, serta melindungi diri mereka dari perceraian dengan menyetujui kontrak pernikahan, yang dapat menjatuhkan denda pada pasangannya bila terjadi perceraian.[24]

C.    Sistem Hukum
       Sistem hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang bertanggung jawab membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga hukum dan ketentraman, sebuah konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno sebagai Ma'at. Dewan sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru, bertanggung jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kecil. Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya pembunuhan, transaksi tanah dalam jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan kepada Kenbet Besar yang dipimpin oleh wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat diharapkan mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya.[25]


D.    Budaya dan Peninggalan Bangsa Mesir Kuno
              Mengenai budaya sehari-hari, bangsa Mesir Kuno sangat menghargai penampilan dan kebersihan tubuh. Sebagian besar mandi di Sungai Nil dan menggunakan sabun yang terbuat dari lemak binatang dan kapur. Laki-laki bercukur untuk menjaga kebersihan, menggunakan minyak wangi dan salep untuk mengharumkan dan menyegarkan kulit. Pakaian dibuat dengan linen sederhana yang diberi warna putih, baik wanita maupun pria di kelas yang lebih elit menggunakan wig, perhiasan, dan kosmetik. Anak-anak tidak mengenakan pakaian hingga mereka dianggap dewasa, pada usia sekitar 12 tahun, dan pada usia ini laki-laki disunat dan dicukur.
              Mengenai perkawinan, kebiasaan perkawinan mengizinkan poligami dan perkawinan antara kakak-adik; kebiasaan yang disebutkan belakangan dilakukan di beberapa tempat di Mesir sampai abad kedua Masehi. Beberapa Firaun diketahui memperistri saudara kandung mereka, tampaknya karena tidak ada wanita lain yang dianggap cukup suci untuk kawin dengan ”dewa yang hidup”.           
       Mengenai kebudayaan dan peninggalan bersejarah, bangsa mesir Kuno telah mengenal tulisan sejak 3300 SM. Tulisan itu berupa gambar (piktogram) yang dinamakan Hieroglif yang artinya tulisan suci. Imhotep, seorang imam agung, arsitek dan dokter semasa pemerintahan Fir’aun Sozer berhasil membuat sistem penanggalan. Berdasarkan penanggalan itu 1 tahun terdiri dari 365 hari. Peninggalan bangsa Mesir Kuno adalah sebagai berikut:[26]
a.       Piramida, yaitu bangunan raksasa dari batu yang digunakan sebagai makam raja-raja beserta keluarganya. Piramida pertama dibangun oleh Imhotep untuk makam Firaun Sozer.         Piramida terbesar, yaitu yang dibangun oleh Khufu, mempunyai bidang alas seluas kira-kira 5,3 ha, dengan puncak setinggi kira-kira 137 m (sama dengan gedung modern bertingkat 40). Menurut perhitungan, piramida itu menggunakan 2.300.000 balok batu, yang beratnya masing-masing rata-rata 2,3 ton. Balok-balok itu dibentuk sedemikian cermatnya sehingga hanya berselisih beberapa milimeter.
b.      Spink, yaitu bangunan raksasa dari batu berupa singa berkepala manusia (wajah Raja Mesir). Biasanya Spink dibangun di depan piramida sebagai penjaga.
c.       Obeliks, yaitu bangunan batu berupa tugu. Maksud pembangunan Obeliks adalah untuk memuja Dewa Re.
d.      Kuil, dibangun untuk memuja dewa tertentu. Kuil peninggalan Mesir Kuno antara lain Kuil Dewa di Heliopolis, Kuil Hatshepsut di Deir-el Bahari, Kuil Aten di Tel el Amarna, Kuil Dewa Amun di Karnak, dan Kuil di Madinet Habu.
              Peninggalan lainnya, yaitu: dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan matematika, Mesir kuno telah mencapai standar yang relatif tinggi dan canggih pada masanya. Empirisme tradisional, sebagaimana dibuktikan oleh Papirus Edwin Smith dan Ebers (1600 SM), ditemukan oleh bangsa Mesir. Bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan alfabet dan sistem desimal mereka sendiri.[27]

E.     Agama dan kepercayaan
             Sistem kepercayaan masyarakat Mesir Kuno adalah politeisme artinya menyembah banyak dewa-dewi. Dewa-dewi yang dikenal di Mesir sebagai berikut: Amun (Raja para Dewa), Re (Dewa Matahari), Shu (Dewa Udara), Set (Dewa Gurun, Badai, dan Bencana), Osiris (Dewa Hakim di Alam Baka).[28]
              Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian dipegang secara turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa yang memiliki kekuatan supernatural namun dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai sosok yang baik; orang Mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak mengeluarkan amarah. Kuil tidak dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan hanya pada hari-hari tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh masyarakat. Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah masing-masing, dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari marabahaya. Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian fisik dan spiritual. Selain badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama. Jantung dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah kematian, aspek spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, namun mereka membutuhkan tubuh fisik mereka (atau dapat digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang. Tujuan utama mereka yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba dan menjadi "arwah yang diberkahi." Untuk mencapai kondisi itu, mereka yang mati akan diadili, jantung akan ditimbang dengan "bulu kejujuran." Jika pahalanya cukup, sang arwah diperbolehkan tetap tinggal di bumi dalam bentuk spiritual.[29]
              Mengenai Adat Pemakaman, orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang diyakini sebagai kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian. Berbagai kegiatan dalam adat ini adalah  proses mengawetkan tubuh melalui mumifikasi, upacara pemakaman, dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan oleh almarhum di akhirat. Sebelum periode Kerajaan Lama, tubuh mayat dimakamkan di dalam lubang gurun, cara ini secara alami akan mengawetkan tubuh mayat melalui proses pengeringan. Kegersangan dan kondisi gurun telah menjadi keuntungan sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi kaum miskin yang tidak mampu mempersiapkan pemakaman sebagaimana halnya orang kaya. Orang kaya mulai menguburkan orang mati di kuburan batu, akibatnya mereka memanfaatkan mumifikasi buatan, yaitu dengan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan meletakkan mayat ke dalam sarkofagus berupa batu empat persegi panjang atau peti kayu. Pada permulaan dinasti keempat, beberapa bagian tubuh mulai diawetkan secara terpisah dalam toples kanopik. Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi. Teknik terbaik pengawetan mumi memakan waktu kurang lebih 70 hari lamanya, selama waktu tersebut secara bertahap dilakukan proses pengeluaran organ internal, pengeluaran otak melalui hidung, dan pengeringan tubuh menggunakan campuran garam yang disebut natron. Selanjutnya tubuh dibungkus menggunakan kain, pada setiap lapisan kain tersebut disisipkan jimat pelindung, mayat kemudian diletakkan pada peti mati yang disebut antropoid. Mumi periode akhir diletakkan pada laci besar cartonnage yang telah dicat. Praktik pengawetan mayat asli mulai menurun sejak zaman Ptolemeus dan Romawi, pada zaman ini masyarakat mesir kuno lebih menitikberatkan pada tampilan luar mumi. Orang kaya Mesir dikuburkan dengan jumlah barang mewah yang lebih banyak. Tradisi penguburan barang mewah dan barang-barang sebagai bekal almarhum juga berlaku pada semua masyarakat tanpa memandang status sosial. Pada permulaan Kerajaan Baru, buku kematian ikut disertakan di kuburan, bersamaan dengan patung shabti yang dipercaya akan membantu pekerjaan mereka di akhirat. Setelah pemakaman, kerabat yang masih hidup diharapkan untuk sesekali membawa makanan ke makam dan mengucapkan doa atas nama almarhum.[30]

F.     Bangsa
            Orang Mesir adalah keturunan Ham, tampaknya terutama dari keturunan Mizraim, putra Ham. (Kej 10:6) Setelah penyebaran dari Babel (Kej 11:8, 9), banyak di antara keturunan Mizraim, seperti Ludim, Anamim, Lehabim, Naftuhim, dan Patrusim, bisa jadi bermigrasi ke Afrika Utara. (Kej 10:6, 13, 14). Berdasarkan lukisan-lukisan kuno dan juga jenazah yang dimumikan, orang Mesir masa awal secara umum digambarkan berperawakan kecil, langsing, dan meskipun tidak termasuk Negroid, berkulit gelap. Akan tetapi, lukisan dan pahatan kuno menunjukkan adanya keragaman penduduk yang cukup besar.


G.    Bahasa
              Para pakar modern cenderung menggolongkan bahasa Mesir dalam kelompok bahasa ”Semito-Hamitik”. Meskipun bahasa tersebut pada dasarnya Hamitik, menurut beberapa pakar ada banyak persamaan dalam tata bahasanya dengan tata bahasa Semitik, serta beberapa persamaan dalam kosakatanya. Walaupun ada hubungan yang demikian nyata, telah diakui bahwa ”perbedaan bahasa Mesir dengan semua bahasa Semitik jauh lebih banyak dibandingkan dengan perbedaan di antara bahasa-bahasa Semitik itu sendiri, dan setidak-tidaknya sampai hubungannya dengan bahasa-bahasa Afrika diidentifikasikan dengan lebih akurat, bahasa Mesir jelas harus dibedakan dari kelompok bahasa Semitik”.[31]
H.    Kaitan Mesir Dengan Israel
              Mesir menjadi tempat perbudakan bangsa Israel sebagaimana dikatakan oleh Marthinus Th. Mawene dalam bukunya ‘Teologi Kemerdekaan’ bahwa negeri Mesir setelah berakhirnya pemerintahan dinasti Hyksos, berubah fungsi dari negeri kelepasan menjadi negeri tempat Israel diperbudak. Maka Mesir menjadi lambang negeri perbudakan. Di antara kedua negeri ini terbentang padang gurun, yakni tanah yang gersang, berbatu karang, berhamparan lautan pasir, langka kehijauan dan langkah sumber air. Situasi alam yang kejam di tanah padang gurun ini membuat penghuninya berperilaku keras dan kejam pula.[32]
              Menurut David L. Baker & John J. Bimson, Orang Israel (keturunan Yakub) menduduki daerah yang disebut Gosyen, terdapat di bagian timur delta Sungai Nil di Mesir, di mana ada tanah yang baik untuk menggembalakan ternak (Kej. 47:1-6).[33] Orang Israel tinggal di Mesir selama 430 tahun (Kel. 12:40-41).[34] Para penguasa Mesir mulai merasa terancam dengan sekelompok orang yang tumbuh berkembang (orang Israel) sehingga orang-orang Israel ditempatkan untuk bekerja sebagai budak di ladang-ladang gandum dan proyek-proyek pembangunan.[35]
  Yusuf berumur 39 tahun pada waktu orang tua dan saudara-saudaranya menetap di Mesir (bnd. Kej. 41:46, 53-54; 45:11) dan dia hidup sampai umur 110 tahun (Kej. 50:22-26). Pembudakan terhadap orang Israel itu terjadi di bawah pemerintahan seorang raja yang tidak mengenal Yusuf (Kel. 1:8-11). Alkitab tidak menyebutkan nama Firaun yang memulai penindasan atas orang Israel (Kel 1:8-22) maupun Firaun yang di hadapannya Musa dan Harun tampil dan yang di bawah pemerintahannya Eksodus terjadi (Kel 2:23; 5:1), dan karena peristiwa-peristiwa itu sengaja dihapus dari catatan orang Mesir atau catatan tersebut telah dimusnahkan, sehingga tidak dapat ditetapkan dengan pasti pada masa dinasti yang mana ataupun di bawah pemerintahan Firaun yang mana peristiwa-peristiwa tersebut terjadi dalam sejarah sekuler. Ramses (Rameses) II (dari ”Dinasti Ke-19”) sering kali dianggap sebagai Firaun penindas berdasarkan rujukan tentang pembangunan kota Pitom dan Raamses oleh para pekerja Israel. (Kel 1:11) Kota-kota itu konon dibangun selama pemerintahan Ramses II. Pada mulanya kerja paksa yang ditentukan oleh keputusan raja untuk orang Israel mencakup pekerjaan tanah liat dan membuat batu bata (Kel. 1:14), dan pembuatan batu bata masih merupakan pekerjaan yang utama pada zaman Musa, tidak lama sebelum mereka keluar dari Mesir (Kel. 5:6-19).[36]
              Allah membebaskan bangsa Israel dengan perantaraan Musa, memerdekakan mereka dari ”rumah budak” dan ”tanur besi”, sebutan untuk Mesir yang terus-menerus digunakan oleh para penulis Alkitab. Menetapnya bangsa Israel untuk sementara di Mesir terukir dalam ingatan bangsa itu dan tak mudah terlupakan, dan pembebasan mereka secara mukjizat dari negeri tersebut secara tetap diingatkan kembali sebagai bukti yang menonjol tentang Keilahian Yahwe. Pengalaman mereka di Mesir dituliskan dalam Hukum yang diberikan kepada mereka (Kel 20:2, 3; Ul 5:12-15); pengalaman itu merupakan dasar untuk perayaan Paskah (Kel 12:1-27; Ul 16:1-3); pengalaman itu membimbing mereka dalam berurusan dengan penduduk asing (Kel 22:21; Im 19:33, 34) dan dengan orang miskin yang menjual diri ke dalam perbudakan (Im 25:39-43, 55; Ul 15:12-15); pengalaman itu menyediakan dasar hukum untuk pemilihan dan penyucian suku Lewi bagi dinas di tempat suci (Bil 3:11-13). Israel pernah menjadi penduduk asing di Mesir sehingga orang Mesir yang memenuhi persyaratan tertentu dapat diterima ke dalam jemaat Israel. (Ul 23:7, 8). Kerajaan-kerajaan Kanaan dan orang-orang di negeri-negeri tetangga merasa takjub dan takut karena laporan-laporan yang mereka dengar tentang kuasa Allah yang diperlihatkan terhadap Mesir sehingga merintis jalan bagi Israel untuk menaklukkan mereka (Kel 18:1, 10, 11; Ul 7:17-20; Yos 2:10, 11; 9:9) dan terus diingat selama berabad-abad setelah itu.
            Mesir dan umat Israel memiliki hubungan yang kusut di sepanjang periode Alkitab, Abad Pertengahan dan zaman modern. Sebagai salah satu peradaban besar dunia purba, Mesir relatif bebas dari invasi bangsa-bangsa asing hingga kedatangan bangsa Asyur (abad ke-7 sM), dan menikmati iklim yang baik serta kesejahteraan ekonomi. Di berbagai zaman Mesir menjadi tempat berlindung para pengungsi Israel (1Raj. 11:17; 12:3). Kekuatan militer yang dominan dan kebudayaannya berpengaruh terhadap Israel -- meskipun tidak pernah berpengaruh secara langsung dalam bidang keagamaan, bahkan kalaupun Musa (nama Mesir) dididik dalam hikmat Mesir (Kis. 7:22). Abraham pergi ke Mesir untuk bertahan hidup. Yusuf dibuang ke sana dengan paksa, namun di sana ia menjadi masyhur. Keluaran dari Mesir selalu melekat dalam ingatan bangsa Israel. Setelah menetap di Palestina, negara Israel dan Yehuda selalu mengalami tekanan dari kekuatan angkatan perang di timur laut dan dari Mesir di barat daya. Selama monarkhi Israel ada di sana, tawanan-tawanan yang ditangkap oleh Mesir melakukan perampasan terhadap kelompok-kelompok orang. Ismael dan para pengikutnya melarikan diri ke sana. Mesir memaksa Yeremia pergi bersama mereka setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan Babel. Yusuf dan Maria dilaporkan telah membawa bayi Yesus ke Mesir (Mat.. 2:13), untuk melarikan diri dari kemarahan Herodes (PL dalam PB). Pada abad ke-5 sM koloni militer orang-orang Yahudi didirikan di daerah Elephantine, perbatasan dengan Mesir, dan selama kira-kira dua abad hingga 73 M, di Leontopolis terdapat kuil Yahudi. Di Aleksandria terdapat penduduk Yahudi dalam jumlah besar, dan sejarawan Eusebius mencatat tradisi bahwa jemaat di sana didirikan oleh Markus, si penginjil itu. Sebelum penganiayaan besar pada abad ke-3 M, Gereja di Mesir hanya sedikit diketahui, namun akhirnya di negara itu komunitas Kristen menjadi kelompok keagamaan yang mencolok, hingga penaklukan oleh Islam pada abad ke-7. Kekristenan di sana masih bertahan hidup sebagai Gereja kecil Koptik.[37]

Kesimpulan

     Sejarah kekaisaran Mesir Kuno dibagi menjadi masa pradinasti dan Masa Dinasti. Pada masa Pradinasti, daerah Mesir terbagi menjadi beberapa bagian. Pada akhir abad ke – 40 SM, daerah Mesir yang terpecah – pecah itu disatukan menjadi dua kelompok besar yang dikenal dengan sebutan Mesir Hulu dan Mesir Hilir. Kedua bagian itu kemudian disatukan di bawah pemerintahan Menes. Sejak saat itu mulai dikenal masa Dinasti. Masa itu mulai pada sekitar 3000 SM dan berakhir sekitar 332 SM ketika Mesir dikuasai oleh Alexander Agung (Iskandar Zulkarnaen) .



















DAFTAR PUSTAKA

David L. Baker, David L, Bimson, John J. Mari Mengenal Arkeologi Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.

Eryadi. Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP. Jakarta: Kawan Pustaka, 2004.

Hart, Michael H. 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Jakarta: Hikmah, 2009.

Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Cet-7. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.

Keene, Michael. Seri Access Guides Alkitab. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Kerr, P. B. The Akhenaten Adventure-Children of the Lamp1. New York.

Mawene, Marthinus Th. Teologi Kemerdekaan. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.

Sumardianta, J. Sejarah untuk SMA/MA kelas X. Jakarta: Gracindo, t.t.

Supriatna, Nana. Sejarah. Jakarta: Grafindo Media Pratama, t.t.





             
Shaw, Ian, ed (2000), The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford University Press, 158, http://id.wikibooks.7val.com/wiki/Sejarah_Kekaisaran/Mesir.






                   [1]Nana Supriatna, Sejarah  (Jakarta: Grafindo Media Pratama, t.t), 79.

                   [2]http://www.sarapanpagi.org/mesir-vt2983.html. Diakses pada hari Selasa, tanggal 19 Maret 2013, pkl. 18.05 WIB.

                   [3]http://zeithmind.blogspot.com/2010/12/kisah-peradaban-mesir-kuno.html. Diakses pada hari Rabu, tanggal 13 Maret 2013, pkl. 20.00 WIB.

                   [4]David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Cet-7 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 32.

                   [5]J. Sumardianta, Sejarah untuk SMA/MA kelas X (Jakarta: Gracindo, t.t), 104.

                   [6]Sejarah, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Senin, tanggal 18 Maret 2013, pkl. 22.00 WIB

                   [7]Eryadi, Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP (Jakarta: Kawan Pustaka, 2004), 230.

                   [8]Nana Supriatna, Sejarah, 80.

   [9]http://agussiz.blogspot.com/2010/02/peradaban-mesir-kuno.html. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 14.14 WIB.

                   [10]P.B Kerr, The Akhenaten Adventure-Children of the Lamp1, New York, 401.

                   [11]Eryadi, Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP, 230.

                   [12]Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah (Jakarta: Hikmah, 2009),  519.

                   [13]J. Sumardianta, Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, 102.
                   [14]Shaw, Ian, ed (2000), The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford University Press, 158, http://id.wikibooks.7val.com/wiki/Sejarah_Kekaisaran/Mesir. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 19.38 WIB.

                   [15]Eryadi, 231.

                   [16]http://bagusseven.blogspot.com/2012/06/penguasa-penting-mesir-kuno.html. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 19. 40 WIB.

                   [17]Eryadi, 231.

                   [18]Shaw, Ian, ed (2000), 481, http://id.wikibooks.7val.com/wiki/Sejarah_Kekaisaran/Mesir. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 20.38 WIB.

                   [19]http://bagusseven.blogspot.com/2012/06/penguasa-penting-mesir-kuno.html. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 21.10 WIB.
                   [20]http://id.wikipedia.org/wiki/Ramses_III. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 21. 22 WIB.

                   [21]Eryadi, 231.

                   [22]P. B Kerr, The Akhenaten Adventure, 403.
                   [23]Manuelian (1998), 363, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Kamis, tanggal 14 Maret 2013, pkl. 20.00 WIB.
                   [24]http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno
                   [25]Sistem Hukum, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal 15 Maret 2013, pkl. 10.15 WIB.

                   [26]Eryadi, Intisari Pengetahuan Sosial (IPSL) SMP, 232.

                   [27]Teknologi, Pengobatan, Matematika, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal 15 Maret 2013, pkl. 10.20 WIB.

                   [28]Eryadi, 231.
                   [29]Agama dan Kepercayaan, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal 15 Maret 2013, pkl. 10.30 WIB.
                  
                   [30]Adat Pemakaman, http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno. Diakses pada hari Jumat, tanggal 15 Maret 2013, pkl. 10.30 WIB.
                   [31]http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2333594-masyarakat-mesir-kuno-percaya-dan/. Diakses pada hari Minggu, tanggal 24 Maret 2013, pkl. 20.05 WIB.

                   [32]Marthinus Th. Mawene, Teologi Kemerdekaan (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 159.

                   [33]David L. Baker,  John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 86.

                   [34]Ibid, 86.

                   [35]Michael Keene, Seri Access Guides Alkitab (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 12.

                   [36]David L. Baker, John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab, 88.
                   [37]http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=orang%20Mesir. Diakses pada hari Selasa, 19 Maret 2013, pkl. 22.08 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar